Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) menjelaskan agenda besar transformasi Nahdlatul Ulama (NU) yang secara garis besar terangkum melalui program trimatra. Hal itu dijelaskan oleh Gus Yahya saat memberikan arahan di momen pelantikan PWNU Jawa Tengah, pada Sabtu 3 Agustus 2024.
Gus Yahya memaparkan trimatra transformasi NU antara lain; matra pertama yaitu konsolidasi tata kelola organisasi yang menyangkut mekanisme, tata aturan dan prosedur serta model administrasi; matra kedua yaitu agenda organisasi, yang terkait rancangan strategis agenda nasional dan daerah yang telah terkonsolidasika; matra ketiga yaitu konsolidasi sumber daya yang menyangkut SDM dan sumber daya pembiayaan.
Dalam struktur Nahdlatul Ulama kita acapkali mengenal istilah jam’iyyah dan jama’ah yang keduanya merupakan domain yang harus dikelola secara baik oleh NU. Jam’iyyah diidentikan dengan domain organisasi dengan seluruh strukturnya, yaitu kelompok yang mewakafkan dirinya untuk mengurus NU secara struktural. Sedangkan jama’ah adalah domain komunitas, yaitu warga NU yang tidak terlibat dalam domain struktural namun tetap menjaga NU secara kultural.
Untuk mensinergikan kedua doamin tersebut tentu diperlukan sebuah strategi layanan yang utuh dan menyeluruh, mengingat menurut hasil survey terbaru menyebutkan bahwa hampir 56,9% penduduk Indonesia mengaku berafiliasi kepada NU.
Dalam rangka itu mencapai sinergitas tersebut, Gus Yahya menggagas ide untuk menjadikan NU struktural ibarat pemerintahan yang melakukan tata kelola managemen organisasi serta memberikan layanan kepada NU kultural.
Maka untuk mecapai hal itu, PBNU tengah mengupayakan konsolidasi yang terangkum dalam 3 matra konsolidasi dan transformasi. Pertama konsolidasi tata kelola, konsolidasi agenda, dan konsolidasi sumber daya.
Hal itu yang disampaikan Gus Yahya saat memberikan arahan dalam Digitalisasi Persuratan PBNU, di Plaza PBNU, pada Kamis (1/8/24).
Persaudaraan umat manusia merupakan salah satu pokok perjuangan Nahdlatul Ulama sebagaimana tercantum dalam dokumen pendirian NU. Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari berpidato dalam pembukaan sidang pengukuhan Nahdlatul Ulama pada tahun 1926 sebagai berikut, “Kesatuan hati dan pikiran manusia sebagai manusia yang saling membantu mencapai tujuan bersama adalah sumber terpenting kemanusiaan, kebahagiaan dan faktor terkuat yang mendorong manusia untuk saling mencintai”.
Pidato Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari tersebut dikutip oleh Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) saat Nahdlatul Ulama menerima penghargaan dari Zayed Award for Human Fraternity 2024, di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, pada Selasa (6/2/24) waktu setempat.
Gus Yahya mengungkapkan bahwa persaudaraan umat manusia merupakan cita-cita didirikannya NU sekaligus cita-cita para pendiri bangsa Indonesia yang tergambar dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Di kesempatan tersebut Gus Yahya mengajak kepada seluruh manusia dari setiap agama dan bangsa untuk bergabung bersama NU dalam membangun gerakan global dalam mendorong munculnya tatanan dunia yang benar-benar adil dan harmonis yang didasarkan pada penghormatan terhadap persamaan hak dan martabat dari setiap manusia.
Tidak ada kata pensiun di Ansor. Penggalan kalimat tersebut diucapkan saat Ketua Umum PBNU KH. Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) memberikan pidato pada gelaran Kongres ke-XVI Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor), di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Jum’at (2/2/24).
Pada tahun 1934 PBNU mendirikan Ansor yang semula sebagai organisasi kepanduan Nahdlatul Ulama. Tidak seperti sekarang, di awal pendiriannya Ansor banyak diikuti oleh kelompok remaja pada usia 15 tahun. Namun seiring berjalannya waktu, kemudian para anggota Ansor disesuaikan dengan usia pemuda.
Gus Yahya berpesan kepada segenap kader Ansor, sebagai organisasi kepanduan Ansor sudah seharusnya menjadi organisasi yang membuka dan meretas jalan. Sehingga apapun yang akan ditempuh oleh Nahdlatul Ulama, maka Ansor harus berjalan terlebih dahulu.
“Yang paling penting di dalam masyarakat adalah kebersatuan di dalam persaudaraan. Masyarakat yang bersatu dalam persaudaraan akan tumbuh menjadi masyarakat yang kuat”.
Kutipan pidato Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari saat meresmikan pendirian Nahdlatul Ulama inilah yang menjadi awal Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf menggambarkan tekad kuat Nahdlatul Ulama saat memberikan sambutan dala Resepsi Harlah 101 Tahun NU, di UNU Yogyakarta, pada Rabu (31/1/24).
Dalam kesempatan itu juga, dirinya mengutip Trilogi Persaudaraan yang dicetuskan oleh KH Achmad Siddiq yaitu ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathoniyah, dan ukhuwah basyariyah. Selama 101 tahun berlangsung, persaudaraan, kebersamaan, perdamaian, toleransi, dan kehidupan harmoni menjadi penanda yang paling kuat dari hadirnya Nahdlatul Ulama. Ia menegaskan tekad NU tidak akan pernah luntur untuk mengabdi kepada kemanusiaan dan perdamaian seutuhnya.
Lebih lanjut, Gus Yahya mengungkapkan NU akan memanfaatkan momentum untuk turut serta membangun bangsa Indonesia. Salah satunya ialah dengan melakukan lompatan pada sistem pendidikan yang mulai diterapkan di UNU Yogyakarta sebagai salah satu perwujudan masa depan Nahdlatul Ulama.
Pengembangan wawasan dan transformasi internal organisasi Nahdlatul Ulama telah dirintis sejak era kepemimpinan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Sehingga pada era tersebut sudah banyak model dan mekanisme kelembagaan yang baru yang perlu disempurnakan saat ini.
Saat ini NU memiliki kapasitas yang cukup untuk memperluas wawasan yang dibutuhkan tidak hanya dikalangan Nahdliyin saja, melainkan untuk diperkenalkan kepada masyarakat global.
Hal itu disampaikan Gus Yahya saat menjadi pembicara kunci dalam Halaqah Nasional Strategi Peradaban Nahdlatul Ulama, di Pesantren Al Munawir, Krapyak Yogyakarta, pada Senin (29/1/24).
Gus Yahya melanjutkan, jika saat ini yang mendominasi peradaban dunia adalah barat, karena memang cara pandang dari dunia barat sangatlah dominan. Maka tugas kita untuk membangun peradaban ialah dengan mensinergiskan antara idelaisme keagamaan dan idelaisme sosial politik.
NU yang memiliki idealisme keagamaan khas Ahlus Sunah wal Jama’ah dengan kerangka operasional yang sangat lugas dan jelas sangatlah sinergi dengan idealisme politik Indonesia yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa yang tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945. Peradaban yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa Indonesia adalah peradaban yang berprikemanusiaan dan prikeadilan.
Dengan visi peradaban yang sedemikain besar, maka NU harus menjadi komponen yang menjalankan misi peradaban tersebut dengan idealisme keagamaan yang dimilikinya dengan membangun satu otoritas keagamaan yang kokoh.
Saat pembukaan Konferensi Besar dan Halaqah Nasional NU 2024 yang diselenggarakan di Ponpoes Al-Munawir Krapyak, pada Senin (29/1/24), Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) menyampaikan bahwa NU didirikan oleh para Muassis dengan visi membangun Hukumah Diniyyah. Yaitu sebagai Hakim yang bisa mempersatukan perbedaan apapun di tengah-tengah masyarakat dalam kerangka Ahlus Sunah wal Jama’ah. NU didirikan tidak hanya sebagai wahana bimbingan keagamaan bagi masyarakat, karena hal itu sudah menjadi tradisi yang dilakukan para ulama jauh sebelum NU didirikan.
Gus Yahya meyakini NU didirkan oleh para Muassis di tengah dinamika menuju perubahan peradaban yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat global, yaitu koherensi di antara para pemangku keagamaan dalam memberikan bimbingan kepada umat.
Saat ini NU tengah dihadapkan dengan situasi dan dinamika yang penuh dengan tantangan, baik dalam skala domestik maupun internasional. Dalam skala domestik kita dihadapkan dengan pertarungan antar kepentingan kelompok yang dianggap menganggu kepentingan bangsa ini. Sementara di kancah internasional, kita juga dihadapkan dengan dinamika luar biasa yang apabila tidak ditemukan solusinya akan berdampak pada kedaulatan bangsa-bangsa dan peradaban manusia.
Sebagai organisasi keagamaan yang berhaluan Ahlus Sunnah wal Jama’ah serta didirikan oleh para ulama ternama Indonesia, Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) memastikan bahwa tidak ada stupun keputusan yang diambil oleh NU kecuali berdasarkan pertimbangan syariat (agama). Mengingat NU memiliki peran dan tanggung jawab raksasa sebagai kompas moral kehidupan berbangsa dan beragama bagi masyarakat luas.
Hal itu disampaikan Gus Yahya saat menyampaikan sambutan dalam Istigotsah Harlah 101 tahun NU yang dilangsungkan di Pesantren Sunan Pandanaran, Yogyakarta, pada Minggu (28/1/24).
Gus Yahya menegaskan, kendatipun dirinya dimandatkan sebagai Ketua Umum PBNU, ia beserta seluruh jajaran pengurus Tanfidziyah PBNU lainnya hanyalah pelaksana atas seluruh kebijakan Syuriah yang dipimpin oleh Rais ‘Aam. Sebagaimana kita ketahui bahwa Syuriah merupakan struktur organisasi Nahdlatul Ulama yang diisi oleh para ulama dan kiai khos yang sangat alim.
Dalam rangka mewujudkan negara yang kuat, diperlukan peran perempuan dan ibu yang sangat kuat. Karena seyogyanya “An-Nisa Imadul Bilad” (perempuan adalah tiangnya negara). Hal itulah yang menjadi pandangan Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) saat memberikan arahan dalam Harlah ke-78 Muslimat NU di Gelora Bung Karno, Jakarta Pusat, pada Sabtu (20/1/24).
Gus Yahya sangat kagum melihat pemandangan para Bu Nyai yang telah sukarela mendidik dan mendampingi tumbuh kembang para santri, namun dalam perhelatan tersebut beliau-beliau tidak segan untuk duduk setara bersama dengan ribuan jamaah Muslimat NU lainnya. Hal itu dilakukan oleh para Bu Nyai sebagai teladan kepada seluruh masyarakat bahwa status kita semua adalah setara.
Kesertaraan itulah yang menjadi spirit dan energi utama para kader Muslimat dalam membangun Nahdlatul Ulama dan Indonesia menuju negara yang kuat dan berdaulat.
Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) mengatakan pemberian program Beasiswa Pengembangan Wawasan Moderasi Beragama ke Jerman yang diikuti oleh para Gus dan Ning merupakan investasi strategis yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama RI dan LPDP. Hal itu disampaikannya saat melepas para peserta program beasiswa tersebut, di Jakarta, pada Jum’at (19/1/24).
Dalam kesempatan tersebut, Gus Yahya menilai bahwa para Gus dan Ning yang diberangkatkan telah memiliki kapasitas yang mumpuni untuk mengembangkan wawasan moderasi beragama di Negara Pemikir tersebut. Kendatipun dikenal sebagai negara yang banyak melahirkan beragam gagasan dan pemikiran dalam khazanah intelekutual, namun menurut Gus Yahya orang-orang Jerman tidak memiliki kapasitas dan wawasan yang cukup untuk bicara moderasi beragama.
Mantan Juru Bicara Presiden Gus Dur itu juga menyebutkan, bahwa Jerman pada dasarnya merupakan negara agama (kristen) walaupun tidak diakui oleh masyarakat di sana. Menurutnya hal itu dibuktikan dengan adanya pungutan pajak agama bagi yang bersedia dimintai pajak oleh orang-orang kristen. Kemudian pajak tersebut oleh pemerintah Jerman disalurkan ke Greja-greja.